Rabu, 10 Juni 2009

MEREDAM BARA HATI





MEREDAM BARA HATI
MARAH yang berkepanjangan dapat melahirkan penyakit dendam, bila dendam itu di biarkan terus menerus maka semakin lama semakin membara dan hati akan tertutup dengan noda-noda kebencian, merasa muak bahkan sama sekali tidak tertarik dengan yang kita dendami. Apabila kebencian demi kebancian telah menumpuk dalam hati, manakala orang yang kita benci mendapat kesengsaraan, mendapat kesulitan kita justeru merasa senang. Begitu dengan sebaliknya, bila orang yang kita benci mendapat nikmat kebahagiaan justeru kita merasa gelisah tidak merasa senang, dalam hati berharap agar nikmat yang telah di berikan oleh Allah itu musnah. Inilah yang di sebut penyakit hasud atau iri hati.

Jelaslah kini bahwa iri hati itu lahir dari dendam. Sedangkan dendam lahir dari al-ghadlab atau marah. Jadi marah adalah asal dari dua penyakit besar hati manusia.

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits bahwa ada seorang laki-laki ( ada yang mengatakan laki-laki itu adalah Haritsah ibnu Qadamah, ada yang mengatakan Abu Dzarda’ dan ada yang mengatakan Ibnu Umar ). Laki-laki tersebut berkata pada Rasulullah SAW :”Ya Rasul, wasiati aku!” Rasul menjawab:”Jangan marah!” Laki-laki ini merasa tidak puas terhadap jawaban Rasul SAW yang begitu singkat itu. Dia kembali lagi pada Rasulullah untuk minta wasiat, maksudnya mungkin ada wasiat lain yang lebih baik ( ablagh ) dan lebih manfaat. Sebanyak orang tersebut kembali dan minta wasiat, sebanyak itu pula Rasul tetap menjawab :”Jangan marah!” Rasul tidak menambah satu kalimatpun pada nasehatnya. Karena kesempurnaan pengetahuan beliau akan manfaat menahan marah, dan pula sejauh mana bahaya-bahaya yang akan di timbulkannya.

Marah menurut syeikh Ahmad bin al-Hejaziy dalam al-Majalisussaniyah adalah bergerak dan mendidihnya darah dalam hati manusia ketika melihat sesuatu yang tidak di senangi dari selain dirinya. Dalam hadits Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa marah adalah bara yang ternyalakan dalam hati manusia, ini dapat terlihat pada wajah dan mata seseorang yang memerah ketika sedang marah.

Marah adalah termasuk sebagian fitrah manusia, makanya tidak mungkin di tumpas hingga ke akar-akarnya. Allah menciptakan sifat marah pada manusia agar manusia dapat menolak ancaman-ancaman dari luar yang membahayakan bagi dirinya, sebelum hal itu terjadi. Apabila manusia tidak memiliki sifat marah, ini juga sesuatu yang tercela dan ini merupakan kelemahan bagi manusia. oleh karenanya Imam Syafi’iy berkata ;”Manistughdliba fa-lan yaghdlab fahuwa himarun, barang siapa di buat marah oleh orang lain, namun tidak marah-marah juga, maka dia adalah keledai.” [ Ihya’ ulumiddin 163 / III ]. Marah yang di larang oleh Rasulullah adalah marah yang melampui batas yaitu kemarahan yang menghilangkan kendali akal, tuntunan agama dan ketaatannya pada aturan-aturan yang ada.
Adapun marah yang terpuji, yaitu marah yang di gunakan pada tempatnya, di mana dan kapan serta sebarapa jauh marah yang di perlukan. Dan hal ini bisa terjadi, apabiula kemarahan kita tidak di sertai emosional. Dalam keadaan seperti ini syetan tidak memiliki peluang untuk menguasai manusia. pleh karenanya banyak dokter-dokter Timur Tengah dalam memberi nasehat kepada pasien yang terkena penyakit tekanan darah tinggi, mereka mengatakan :”Rasulullah tidal pernah marah sambil emosi.” [ Rasulullah dan kesehatan oleh Nsrullah. Berita Buana Oktober 1990. ]

Sedangkan yang sangat memperihatinkan pada saat-saat ini adalah kerancuan pemahaman marah yang terkadang di artikan sebagai keberanian, bahkan di anggap sebagai keperkasaan. Padahal marah adalah penyakit hati manusia. sesungguhnya orang yang marah itu adalah lemah jiwanya dan lemah akalnya. Berbagai penelatian membuktikan bahwa : Orang sakit lebih cepat marah dari orang sehat, wanita lebih cepat marah dari laki-laki, anak-anak lebih cepat marah dari orang dewasa dan orang- orang yang berperangai jelek lebih cepat marah dari orang yang berakhlak baik. Ini semua membuktikan betapa pemarah itu memiliki jiwa yang lemah. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda :”Orang yang kuat bukanlah orang yang dapat merobohkan lawan-lawannya, akan tetapi orang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika dalam keadaan marah.”

Semakin tinggi intelektualitas seseorang, biasanya semakin mampu menahan dan mengendalikan emosionalnya.

Apabila kita terlanjur terjangkit penyakit marah, ada beberapa kiat yang dapat kita lakukan untuk meredamnya :
Pertama, tauhid yang hakiki. Yaitu berkeyakinan bahwa tidak ada yang melakukan sesuatu kecuali kenyataannya adalah Allah. Seluruh makhluk ini adalah alat atau perantara. Apapun yang terjadi pada kita adalah ujian dari Allah. Sahabat Anas hidup bersama Rasulullah SAW sepuluh tahun, beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW tak pernah mengatakan terhadap apa yang di lakukan oleh Anas:”Mengapa tidak kau lakukan itu ?” Akan tetapi Rasulullah selalu mengatakan terhadap apa yang di lakukan oleh Anas:” Allah telah memberi kepastian terhadap setiap sesuatu, bila Allah berkehendak, Dia akan mengerjakannya. Dan bila Allah memasatikan sesuatu, niscaya akan ada.”

Kedua, mohon perlindungan pada Allah dari godaan syetan dan mengambil air wudlu’. Sabda Rasulullah SAW :”Apabila kalian marah-marah, maka ambillah air wudlu’! karena sesungguhnya marah itu dari api, sedangkan yang dapat memadamkan api adalah air.” ( HR. Abu Daud ). Sabdanya lagi :”Marah itu dari syetan dan sesungguhnya syetan di ciptakan dari api. Api itu hanya bisa di padamkan dengan air. Maka bila marah berwudlu’lah!”

Ketiga, merubah posisi. Abu Dzar al-Ghifari, pernah meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulallah SAW bersabda :” Apabila kalian marah pada saat berdiri, maka duduklah! Apabila masih belum juga hilang marahnya, maka tidurlah!” Maksud dari ini semua adalah diam dan semakin merapatkan diri dengan bumi yang merupakan asal kejadian manusia. karena sesungguhnya sebab-sebab marah adalah hawa panas, dan penyebab panas adalah gerak. Maka diamlah!” Dan tujuan merapatkan diri dengan bumi, di harapkan kita dapat kembali merasakan kelemahan dan kehinaan diri sebagaimana tanah.

Keempat, menekan diri untuk selalu bersabar dalam kemarahan. Bagaimana caranya? Apabila ada orang lain menyebut-nyebut kekurangan yang memang ada pada kita, maka katakana! “Dosaku yang kau sebutkan itu semoga Allah mengampuninya.” Apabila orang lain membuat-buat sesuatu yang tidak ada pada diri kita ( fitnah ), maka sebutkanlah! “al-hamdulillah.” Karena pada sesungguhnya Allah sedang menyirami kita dengan kebaikan-kebaikan.

Kelima, memandang langit dan bumi. Urwah bin Muhammad ketika akan bertugas ke Yaman, ayahnya hanya berpesan :” Apabila kamu marah, pandanglah langit di atasmu dan pandanglah bumi di bawahmu, kemudian renungkanlah penciptanya!”

Keenam, menahan lidah dan tangan untuk bergerak. Seorang lelaki mendekati Salman al-Farisi, dia menyatakan :”Wahai hamba Allah, wasiatilah aku!” Salman menjawab :”Jangan marah!” Laki-laki itu menjawab :”Aku tidak mampu.” Kemudian Salman berkata lagi :”Bila kamu marah tahanlah lidah dan tanganmu!”

Kemampuan menahan marah adalah termasuk tanda-tanda orang yang bertakwa. “Dan bersegaralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada sorga yang luasnya seluas langit dan bumi yang di sediakan untuk orang-orang yang bertakwa, ( yaitu ) orang-orang yang menafkahkan ( hartanya ), baik di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya. ( Alu-Imron: 133-134 ).

Seseorang minta diberi satu nasehat pada Rasulullah SAW yang dapat mendekatkannya pada sorga dan menjauhkannya dari neraka. Rasulullah SAW bersabda :”Jangan marah! Dan bagimu sorga.” ( HR. Thabrani dalam syarah al-Zarqaniy 324 / 4 ). [] .


Penulis : Muchsin Gz
Pengajar madrasah diniyah Wustha
Ponpes Al-Utsmani Beddian Jambesari
Darus Shalah Bondowoso.














YANG paling di harapkan dalam pendidikan adalah perubahan. Perubahan cara berfikir, perubahan sikap dan perubahan tingkah laku. Tingginya ilmu pengetahuan tidak akan begitu berarti apabila tidak di iringi dengan peningkatan kwalitas akhlakul karimah. Apa artinya memiliki sederet gelar dan mencari ilmu di sekolah-sekolah bergengsi kalau akhlaknya amburadul, ibadahnya acak-acakan. Dan agaknya yang seperti ini yang sering terjadi, penambahan ilmu tidak di barengi dengan penambahan hidayah. Mengapa hal ini terjadi? Karena diantara kita saat ini terlalu membanggakan fasilitas tetapi tak peduli pada kwalitas.

Ilmu yang sejati adalah ilmu yang melahirkan rasa takut kepada Allah, sehingga ilmu tersebut dapat mengantarkan pemiliknya pada kebahagiaan hidup fiddarain. Apabila ilmu tidak di sertai rasa takut ( khasy-yah ), maka ilmu itu bukan membawa manfaat, yang ada adalah membawa bahaya bagi pemiliknya. Karena dengan ilmunya orang tersebut bukan semakin dekat dengan sorga, malah justeru semakin melebarkan jalannya ke neraka.

Rasulullah SAW bersabda :”Tiap hari dimana aku tidak bertambah ilmu yang mendekatkan aku kepada Allah, maka berarti tidak barakah bagiku terbit matahari pada hari itu.”
Sabdanya lagi :”Akan tiba suatu masa pada ummat manusia, tiada tinggal al-Qur’an kecuali tulisan, dan Islam hanya namanya saja. Hati orang-orangnya kosong dari petunjuk ( hidayat ), dan masjid hanya penuh jasad manusia yang tak berhati takut. Sejahat-jahat manusia waktu itu ialah ahli ilmu, sebab dari mereka sumber fitnah dan kepada mereka pula kembalinya.

Lalu bagaimana mencari lembaga pendidikan yang betul-betul mampu mengadakan perubahan? Apakah pendidikan tersebut harus memiliki fasilitas yang canggih? Tidak terlalu salah! Karena fasilitas yang memadai turut menjadi penunjang terhadap “suksesnya” suatu lembaga pendidikan. Atau lembaga pendidikan tersebut harus memiliki program dan management yang baik dan rapi? Inipun ada benarnya! Karena program yang bagus dan mamagemant yang handal turut membantu dalam pembentukan kepribadian dan keberhasilan anak didiknya.

Ada satu hal yang sering tidak di perhatikan oleh setiap kita, mungkin kita terlalu terpesona dengan fasilitas indah dan megah yang di lengkapi dengan program serta management yang membius hati, hal tersebut adalah “kwalitas guru”.

Jangan sembarangan mencari guru, carilah guru yang mampu “ membawa pada perubahan “, bukan hanya bisa mengajar. Barangkali kalau yang bisa mengajar dimana-mana bisa kita dapatkan. Akan tetapi seseorang yang bisa mengajar itu belum tentu bisa membawa dan merubah anak didiknya. Mencari guru yang bisa mengajar dan sekaligus membawa pada perubahan di zaman sekarang seperti mencari jarum yang jatuh dalam jerami. Guru seperti inilah yang di sebut guru sejati. Dan guru sejati memiliki kretaria- kretaria tertentu. Antara lain :

1.TINGKAH LAKUNYA MEMBEKAS DALAM HATI
Rasanya tidak terlalu sulit mengolah pembicaraan supaya di dengarkan orang. Orang lain menjadi senang dan terhibur dan akhirnya bertepuk tangan untuk kita, syaratnya hanya dua yaitu menyusun materi dengan baik dan banyak-banyak berlatih. Tetapi apakah iya apa yang kita bicarakan masuk dan membekas di hati para pendengarnya? Wallahu a’lam!

Guru yang sejati bukanlah guru yang hanya pandai mengolah kata dan bersilat lidah, sehingga wajah murid-muridnya terpukau melihatnya. Akan tetapi guru yang sejati adalah guru yang memberi bekas dengan isyarat dan tingkah lakunya. Guru macam ini diamnya atas suatu perkara diamati dalam-dalam oleh murid-murid, mengapa sang guru tidak berkomentar. Jadi tidak bicara saja sudah menjadi pelajaran, apalagi dia berkenan berbicara dan menjelaskan suatu hikmah.

Isyarat dan tingkah lakunya di baca, di pelajari, di kaji dan selanjutnya di contoh oleh murid-muridnya. Dimana-mana tak bosan akhlak guru ini di perbincangkan dalam setiap pertemuan sekalipun sang guru telah meninggal dunia. Hal inilah yang lambat laun akan mengubah sikap murid-murid secara bertahap.

Guru yang sejati bukanlah guru yang hanya bisa di dengarkan, akan tetapi guru yang sejati adalah guru yang dapat diambil darinya baik pembicaraan, lebih-lebih lagi tingkah laku serta akhlaknya.

2.MEMBANGKITKAN SEMANGAT MURIDNYA
Seorang guru sejati memiliki semangat ibadah yang tinggi dan semangat mencari ilmu yang tak pernah padam. Semangat yang menggelora itu, terpancar dari tingkah laku dan tutur kata di setiap pertemuan dengan murid. Sehingga siapapun yang mendekat akan tersuluh semangat ibadah dan ilmiahnya. Akhirnya orang yang mendekat baik murid maupun sahabatnya akan bersama berkembang menuju kehidupan yang lebih baik. Seperti halnya ragi: Ketela yang asalnya berharga murah, ketika di dekati oleh ragi berubah menjadi tape, mahallah harganya. Bukan hanya di konsumsi oleh orang-orang pinggiran, tapi masuk pada kota-kota besar dan di konsumsi oleh orang-orang elit. Demikianlah guru mengadakan perubahan pada murid-muridnya. Di mulai sejak sang murid tidak berharga sama sekali hingga dia memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah dan di hadapan manusia, mahallah harganya.

3.MENGELUARKAN MURID DARI PENJARA NAFSU DAN MASUK BERSAMA-SAMA MENDEKAT PADA ALLAH.
Dengan kretaria yang ketiga ini, seharusnya seorang guru telah mampu menundukkan nafsu sendiri. Sebab mana mungkin bisa mengeluarkan murid dari cengkraman dan belenggu penjara nafsu, kalau dirinya masih menjadi budak nafsu. Idealnya nafsu seorang guru harus sudah berupa nafsu muthma’innah, nafsu yang telah tenang, telah jinak, maksudnya nafsu yang sudah dapat dikendalikan pada hal-hal yang bermanfaat. Nafsu muthma’innah adalah nafsu yang telah merasa tenang dengan melakukan al-ma’ruf atau kebaikan, juga sudah tidak doyan pada hal-hal yang di larang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Apabila nafsu seorang guru masih berupa nafsuh lawwamah yakni orangnya masih sering melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan-aturan agama dan norma, meski orangnya sudah bisa menyadari dan menyesali atas pekerjaannya itu, di khawatirkan guru tersebut nanti bisa memberi contoh pada murid-muridnya dengan hal-hal yang tidak baik, ketika si guru terjerembab dalam jurang kemaksiatan, karena lisanul-hal afshah min lisanil-maqal, lidah perbuatan lebih fasih dari pada lidah yang di gunakan untuk berbicara. Artinya murid-murid lebih banyak meniru dari pada taat terhadap apa yang di dengarkan.

Apalagi nafsu sang guru masih “ammarah”, artinya pak guru masih takluk di bawah kemauan nafsunya. Jangan diharap guru ini bisa merubah tingkah laku muridnya. Pada diri sendiri saja-terhadap apa yang ia lakukan- masih belum mampu membedakan, apakah itu bisikan iman dari cahaya hati, ataukah dia lakukan atas bisikan nafsu? Karena pada sebenarnya dalam diri kita setiap hari selalu berperang antara bisikan keimanan dalam hati dengan bisikan nafsu. Sedangkan orang yang nafsunya masih ammarah dia selalu tunduk dibawah ajakan nafsu. Jadi kalau mengajar bisa di pastikan lebih banyak merusaknya daripada membangunnya.

Maka hanya guru yang sudah nafsul-muthma’innah yang dapat membebaskan murid-murid dari kungkungan penjara nafsu, kemudian diajak bersama-sama untuk mendekat pada Allah, berburu mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat.

4.SELALU MEMBERSIHKAN KOTORAN HATI MURID-MURIDNYA
Pendidikan bukan hanya membekali otak dengan ilmu, serta melatih tangan dengan keterampilan. Otak ini adalah alat untuk berfikir dan tangan alat yang bisa di gunakan untuk bekerja. Apabila otak di bekali dengan ilmu, maka kita menjadi manusia yang pinter, bahkan cendikiawan. Bila tangan di bekali dengan ilmu keterampilan, maka membuat kita kreatif, dan berdaya cipta tinggi. Namun kita harus ingat. Otak yang cendikia dan tangan yang terampil tidak akan ada artinya apabila hatinya busuk dan kotor, karena hati ini sebenarnya adalah raja dari otak itu, dan hati adalah raja dari tangan yang sudah terlatih dengan baik. Apabila hati kotor, otak yang terasah akan di buat untuk berfikir hal-hal yang di larang oleh norma dan agama. Tangan yang professional akan di buat untuk berkarya dengan hal-hal yang berlawanan arah dengan norma dan agama. Mengapa? Karena rajanya busuk, maka anggota badan akan senang melakukan hal-hal yang busuk dan kotor pula.

Adalah suatu keniscayaan apabila seorang guru harus mengetahui bentuk-bentuk penyakit hati seperti sombong, riya’ ujub, dengki,iri hati dan lain-lain, kemudian mampu membersihkan dan mengobati penyakit-penyakit tersebut dengan baik. Karena pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang dapat menyentuh tiga hal yaitu: otak, tangan dan juga menyentuh bagian terpenting dalam diri manusia adalah “hati!”

5.MEMBERSIHKAN TINGKAH LAKU MURID DENGAN AKHLAKNYA, MEMBUAT BATIN MURID BERSINAR DENGAN CAHAYA HATINYA.
Sebagai seorang guru, seharusnya menyadari bahwa segala yang dia katakan atau lakukan, tidak terlepas dari pengamatan yang teliti dan cermat dari murid-muridnya. Makanya seorang guru yang baik, sebelum melakukan sesuatu akan senantiasa bertanya kepada diri sendiri.”Pesan apa yang saya kirimkan melalui kelakuan saya ini? Lalu contoh apa yang akan saya berikan saat ini? Kemudian lingkungan yang bagaimana yang ingin saya ciptakan?”

Sehingga tingkah laku guru akan senantiasa memberikan inspirasi. Kepada murid-muridnya untuk mengikuti. Bahkan tingkah laku guru akan menjadi tolok ukur, benar-tidaknya serta pantas tidaknya segala tingkah laku yang telah di lakukan selama ini. Maka jadilah akhlak guru yang menawan itu menjadi penjernih ( filter ) dari akhlak-akhlak murid yang telah terkontaminasi oleh debu-debu kotoran zaman.

Yang di maksud dengan cahaya hati guru adalah cahaya makrifat kepada Allah. Barang siapa yang belum sempurna cahaya makrifatnya, maka tidak akan mampu menuangkan cahaya ( ilmu/hikmah ) pada hati murid-muridnya. Bila dia menerangkan sesuatu pasti akan terlihat suram cahayanya, karena dia sendiri masih di liputi sesuatu yang berlawanan dengan hakekat, dan karena itulah dia di tolak oleh pendengarnya. Dalam arti masuknya-ya masuk dalam otak! Tapi apakah setiap yang ada di otak pasti jatuh bersemayam dan bersinar dalam hati? Belum tentu. Sedangkan hakekat ilmu adalah pengetahuan dan cahaya Allah yang telah masuk dalam hati, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran, dan selanjutnya sang murid sedikit demi sedikit akan mengalami perubahan untuk menjadi baik seiring dengan perkembangan ilmiahnya. Hanyalah guru yang hatinya telah sempurna cahaya makrifatnya yang dapat menyinari hati murid-muridnya.

6.MAU BERKUMPUL KETIKA MURID MENDEKATI, DAN MENJAGA KETIKA MURID JAUH DARINYA.
Betapapun tinggi wibawa seorang guru, jangan sampai jadi penyebab renggang hubungan seorang guru dan murid, guru harus dekat dengan murid baik fisik maupun batin. Sebagaimana Rasulullah SAW senantiasa berkumpul dengan sahabat-sahabatnya. Mana mungkin seorang dokter yang ingin menyembuhkan seorang pasien, sedangkan dia tidak mau dekat dengan pasiennya. Separah apapun penyakit orang itu, senakal apapun keadaan murid tersebut, jangan sampai membuat sang guru benci dan menjauhi. Justeru yang nakal perlu mendapatkan perhatian khusus dan penaganan serius dan istimewa. Setiap kali berkumpul guru yang baik akan senantiasa menabur mutiara hikmah sebagai “barokah” bagi murid-muridnya. Tidak ada pertemuan yang sia-sia, semua penuh barokah dan sarat dengan faedah.

Apabila murid jauh dari sang guru, maka guru tidak akan mengurangi perhatiannya, dalam benaknya selalu berfikir ; “Bagaimana, dan apa saja yang di lakukan oleh murid di luar?” Apabila baik maka dia akan memberikan semangat agar terus maju. Dan bila kurang baik sang guru akan memberikan pengarahan, bimbingan serta pembinaan, walaupun si murid telah keluar atau lulus dari lembaga pendidikan yang dibinanya. Maka hubungan guru dan murid akan terus berlangsung. Silaturrahim dlahir batin akan tetap terjalin dengan baik. Jadi tanggung jawabnya bukan hanya sebatas ketika pegang kapur di depan papan tulis saja. Akan tetapi selamanya, maka tidak akan ada istilah “mantan guru” atau “mantan murid”. Sekali menjadi guru maka dia adalah guru selama hidup di dunia ini, sehingga nanti bertemu di sisi Allah dengan penuh keberuntungan di alam akhirat. [] ( eM Ha eS )




Penulis : Muchsin Gz
Pengajar madrasah diniyah Wustha
Ponpes Al-Utsmani Beddian Jambesari
Darus Shalah Bondowoso.





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar