Rabu, 10 Juni 2009

HAKIKAT TAWADLUK




HAKIKAT TAWADLUk
Oleh : Muchsin Ghazali Alamat : RT / RW 30/06 Beddian Jambesari Darus Sholah Bondowoso 68263 Jawa Timur.
Hand Phone : 085856599200

BERANDA
KATA
Bismillah wal-hamdulillah, sholawat salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Muhammad Saw, keluarga dan seluruh sahabat-sahabatnya.

Kita sering melihat kucing kecil yang sedang diganggu oleh makhluk yang lebih besar dari dirinya, sedang membesar-besarkan diri dengan cara mengembangkan bulu dari kepala hingga ujung ekornya. Suara juga di besar-besarkan hingga menggaung layaknya seekor singa yang galak. Apakah tujuannya? Tidak ada lain, agar dia di sangka besar dan perkasa, lalu makhluk pengganggu itu menjadi takut dan menghormati. Akan tetapi walau bagaimanapun, kalau kita telusuri jauh kelubuk hati, sejatinya kucing kecil itu adalah penakut dan tidak percaya diri menghadapi pergaulan hidup ini, akhirnya bersandiwaralah dia sebagai makhluk besar dan hebat.

Demikian seorang sombong, dia takut menghadapi kenyataan hidup, dalam segala pergaulan dia tidak percaya diri, dia sering menyembunyikan keadaan nyata dirinya dibalik pengakuan-pengakuan palsu, maka di besar-besarkanlah omongannya tentang keadaan diri. Tetapi bisakah dia mendapat kebesaran dan kemulyaan hidup dengan berlagak besar seperti itu? Ternyata tidak! Di sini bukan dunia hewan, tetapi dunia manusia yang menjunjung tinggi akhlak dan tatakrama. Semakin manusia sombong, akan semakin diremehkan, mungkin dalam sementara waktu bolehlah orang lain percaya dengan omongan dustanya itu. Suatu saat cepat atau lambat satir itu akan tersingkap, lalu dia akan dibenci dan dicaci maki oleh orang lain, maka merosotlah harga dirinya. Karena Allah sangat tidak senang pada orang-orang yang menyombongkan diri.

Kunci untuk mencapai kemulyaan hidup bukan dengan membesar-besarkan diri seperti kucing tadi. Kuncinya Tidak lain dan tidak bukan, adalah hanya dengan sifat tawaduk atau rendah hati. Barang siapa yang tawaduk maka akan dicintai dan disayang oleh orang lain, dengan begitu bertambah mulyalah hidup orang tersebut.

Buku kecil ini akan sedikit membuka cakrawala pemikiran kita, tentang; apa dan bagaimana sifat tawaduk itu? Semoga dengan berbagai kesalahan dan kekurangannya dapat memberi manfaat terutama bagi penulis dan para pembacanya.
Beddian, 5 Februari 2008.M
Muchsin Gz


MUQADDIMAH
ANJURAN UNTUK TAWADUK


قال الله تعالى:
واحفض جناحك لمن اتبعك من المؤمنين
Rendahkanlah sayapmu (sikapmu) terhadap pengikutmu dari kaum mu’minin. (al-Hijr 88 – asy-Syuraa 215).

قال تعالى :
فلا تز كواانفسكم هو اعلم بمن اتقى
Janganlah kamu merasa sudah bersih, Dia Allah lebih mengetahui siapa yang bertakwa. (an-Najm : 32).

عن عياض بن حمار رضي الله عنه. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ان الله اوحى الي ان تواضعوا حتى لا يفخر احد على احد ولا يبغي احد على احد. رواه مسلم.
Iyadl bin Himar r-a berkata : Bersabda Rasulullah SAW :” Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepada saya untuk bertawaduk (rendah hati) hingga seseorang tidak menyombongkan diri terhadap orang lainnya, dan seseorang tidak menganiaya terhadap lainnya.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
الكرم التقوى والشرف هو التواضع واليقين الغنى. رواه ابن ابي الد نيا
Sifat pemurah itu adalah takwa, kemulyaan (orang yang mulya) itu adalah orang yang tawaduk (rendah hati) dan keyakinan adalah kekayaan.

Allah dan Rasul-Nya menganjurkan kepada kaum muslimin untuk senantiasa bersifat tawaduk atau rendah hati. Dan seseorang yang telah memiliki sifat tawaduk bisa dipastikan orang tersebut telah memiliki cahaya persaksian (nurul musyahadah) kepada Allah yang begitu mendalam. Seorang yang tawaduk akan jauh dari sifat sombong, riya’ dan ujub. Mengapa demikian? Karena apabila seseorang telah mengetahui dengan benar (musyahadah) terhadap ‘kebesaran Allah’, maka tidak akan ada jalan untuk dirinya merasa besar (sombong), sebab yang besar itu hanyalah Allah.Yang mengetahui dengan benar akan kemaha kayaan Allah, maka tentu dirinya tidak akan merasa kaya, justeru akan merasakan fakir dan lemah di hadapan Allah SWT. Karena semua yang ada ini adalah milik Allah, kekayaan yang ada pada tangan manusia tak lebih hanyalah sebagai titipan belaka (amanah), ibarat pinjaman bila yang punya berkenan untuk mengambilnya, kapanpun kita harus siap menyerahkan barang tersebut. Maka tak sepatutnya manusia membanggakan diri dengan harta ditangan yang statusnya hanya pinjaman itu. Juga Sebagaimana tukang parkir, pantaskah dia bangga dan sombong dengan tumpukan kendaraan-kendaraan yang dititipkan padanya? Jawabnya tentu tidak, karena tukang parkirpun sadar kendaraan yang banyak itu bukan miliknya, setelah sampai pada batas waktunya akan diambil oleh yang punya.

Dan barang siapa yang telah mengetahui terhadap kekuasaan Allah, maka dirinya tidak akan merasa perkasa dan berkuasa hidup didunia ini. Demikian selanjutnya semakin mendalam pengetahuan seorang hamba pada kesempurnaan sifat-sifat Allah, maka semakin tak punya kesempatan mensosialisasikan dan atau menuturkan sifat-sifat yang dianggap lebih dari orang lain dalam dirinya, karena itu seorang mukmin yang sempurna, akan senantiasa sibuk memuji-muji Allah dengan sifat-sifat yang indah dan terpuji, karena memang hanya Allah-lah yang berhak dipuji. Dia akan senantiasa menjadi hamba yang bersyukur atas kehendak Allah, sehingga dirinya diberi kekuatan untuk beraktifitas dengan baik dan indah, serta bertingkah laku yang terpuji. Apapun yang indah dan apapun yang terpuji dalam diri selalu dihubungkan dengan karunia Allah. Dan diri ini hanyalah sebagai ‘sarana’ untuk menampakkan keindahan, yang sebenarnya yang terindah dan pemilik segala keindahan hanya Allah semata, kita sekedar tanda akan ke-maha indahan-Nya, maka tak pantas kiranya memuji sarana. Yang layak dipuji adalah dibalik tanda atau sarana itu yaitu pelakunya (fa’il) adalah Allah pemilik sejati segala pujian dan keindahan.

Kita oleh orang dibilang cantik umpamanya, siapa sebenarnya yang maha kreatif terhadap kecantikan itu? Kecantikan yang ada pada manusia adalah maha karya agung dari yang Maha memberi, Maya Membuat, Maha lembut, Maha halus, Maha indah dan Maha Cantik, semua itu tiada lain adalah Allah al-Jamil. Kalau buatannya sudah se-begitu cantiknya, hingga memusingkan setiap orang yang memandang. Lalu seperti apakah kiranya keindahan Dzat yang membuat makhluk cantik itu? Karena tidak mungkin sebuah hasil pembuatan, akan lebih baik dan lebih bagus dari pembuatnya. Maka seharusnya apabila ada orang memuji kepada kita dengan mengatakan ‘engkau sangat cantik atau engkau sangat tampan’, segera kembalikan pujian itu pada Allah! Dengan mengatakan ‘al-hamdulillah’ segala pujian hanyalah milik Allah. Maksudnya al-hamdulillah, segala puja-puji yang telah kau berikan itu bukan untukku. Tetapi hanya bagi Allah yang Maha Membuat dan Maha Indah. Aku ini hanya tanda atas ke-Maha cantik-anNya atau ke-Maha tampan-nanNya.

Seorang guru tak sepatutnya membanggakan diri karena telah berhasil memberikan pengetahuan kepada murid-muridnya, karena yang menuangkan cahaya ilmu itu Allah, kita sebagai guru cukuplah bangga karena Allah telah berkenan dan ridla mengangkat kita sebagai perantara untuk menyampaikan karunia ilmu Allah kepada seorang hamba yang dikehendaki-Nya. Tidak ada jabatan yang lebih mulia dari mendapat ridla Allah untuk menjadi perantara menyampaikan suatu kebaikan dari Allah kepada hamba-Nya. Oleh karena itulah, As-Syafi’iy berkata kepada murid-murid beliau:”Siapapun yang pernah belajar sama saya, saya tidak rela walau sehurufpun ilmu yang telah sampai kepada kalian itu diyakini dari saya.” Imam as-Syafi’iy sehurufpun tidak marasa bahwa pengetahuan yang telah diperoleh oleh murid-muridnya itu dari beliau, akan tetapi semua itu adalah karunia dari Allah [fadlun-minallah]. Suatu ketawaduk-an yang sangat tinggi dari beliau karena kesempurnaan nurul musyahadah dalam diri as-Syafi’iy. Demikianlah sifat tawaduk tidak akan dimiliki oleh seseorang kecuali setelah nurul-musyahadah memancar terang dalam hatinya. []***

BAHASAN I
MENGAPA TAWADUK ITU BAIK ?



Kiranya sudah sangat umum diketahui ungkapan “khairul umur ausathuha“, sebaik-baik perkara adalah yang berada di tengah-tengah. Dan Allah senang terhadap perbuatan yang pertengahan.

Tawaduk itu dianggap baik karena ia ada di antara dua tepi. Tepi yang pertama disebut kekurangan, dan tepi yang kedua disebut berlebih-lebihan. Condong pada kekurangan disebut remeh dan merupakan kehinaan. Condong pada yang berlebih-lebihan disebut takabbur atau sombong. Sedangkan tawaduk ada di antara kehinaan dan kesombongan itu.

Orang yang selalu memamerkan dan menunjukkan kelebihan serta kehebatannya diatas orang lain disebut sombong. Demikian pula, jika seorang yang berilmu, apabila dia didatangi oleh tukang sandal, lalu dia bangkit dari tempat duduk kemudian orang alim itu mempersilahkan tukang sandal tersebut duduk ditempat duduknya. Lalu dia ke pintu memperbaiki sandal milik tukang sandal, kemudian dia duduk dengan tertib dibelakang tamu, yakni yakni tukang sandal itu. Perilaku seperti ini bukan tawaduk atau rendah hati namanya, tapi inilah yang disebut meremehkan dan menghinakan diri. Adapun yang baik adalah hendaknya merendahkan diri dengan tanpa kehinaan dan keremehan. Tawaduk sebagai perkara yang pertengahan adalah hendaknya merendahkan diri dengan tanpa terjerumus pada batas kehinaan dan keremehan. Dan tawaduk itu sebenarnya meletakkan sesuatu menurut perkiraan (kadar) yang berhak di terima, dengan jalan menempatkan masing-masing hak pada yang berhak mendapatkan. Inilah yang dimaksud pertengahan, karena tawaduk itu berada diantara hina dan sombong. Rasa hina diri sebaiknya hanya dihadapan Allah saja, karena hanya Allah yang maha Perkasa dan manusia ini lemah tak berdaya dihadapan-Nya. Makhluk manusia tidak boleh merasa hina diri dihadapan sesama manusianya.

Sikap yang perlu dibangun dalam menghadapi orang lain. Ialah hendaknya senantiasa memiliki perasaan lebih takut dan khawatir terhadap diri disamping keadaan orang lain. Mengapa harus khawatir? Karena manusia tidak ada yang tahu pada nasib dirinya nanti dalam kesudahan hidup didunia. Dengan begitu maka kita tidak akan melihat bahwa diri ini lebih baik dari orang lain, lalu orang lain tidak dianggap kecil, hina dan tak berharga. Karena boleh jadi orang yang dianggap kecil didunia ini, pada sesungguhnya dia memiliki derajat yang tinggi disisi Allah. Bukankah pangkat didunia tidak menjamin akan ketinggian Pangkat seseorang diakhirat nanti?

Ada manusia yang tinggi pangkatnya didunia dan akhirat, ada manusia yang tinggi pangkat di akhirat saja, adapula yang hanya tinggi pangkat didunia saja. Didunia dia dipuja dan disanjung-sanjung, tapi diakhirat dia menjadi isi neraka Jahannam. Na’udzubillah. Suatu ketika Rasulullah SAW sedang duduk-duduk bersama beberapa sahabat, Mendadak ada seorang berjalan, lalu Rasul berkenan bertanya kepada seorang sahabat disebelah beliau:”Bagaimana pandanganmu tentang orang itu?” Sahabat yang didekat Rasul itu menjawab:”Dia seorang bangsawan yang mulia dihadapan orang-orang, demi Allah sungguh layak apabila dia berkenan meminang seorang wanita diantara kami untuk diterima, dan apabila dia membantu memintakan sesuatu untuk orang lain dia pasti dikabulkan.”

Rasulullah berdiam diri mendengarkan jawaban itu. Tak lama kemudian ada lain orang berjalan. Rasul SAW bertanya lagi pada sahabat yang disampingnya:”Bagaimana pendapatmu tentang orang itu?” Sahabat itu menjawab:”Ya-Rasul orang itu sangat miskin, patut sekali kalau meminang untuk tidak diterima, dan kalau membantu memintakan sesuatu untuk orang lain pasti ditolak.” Maka Rasul bersabda:”Orang ini lebih baik dari sepuluh bumi dibanding orang pertama tadi.” [HR. Muslim, Riyadlus-Shalihin]. []***

BAHASAN II
BERBAGAI PENDAPAT TENTANG TAWADUK



Fudhail bin Iyadh pernah ditanyakan tentang tawaduk, beliau menjawab :”Rendah hati untuk kebenaran, menyelamatkan diri untuk kebenaran, dan menerima kebenaran dari orang lain.”Sebaliknya orang yang menolak kebenaran dengan apapun alasannya adalah merupakan suatu bentuk kesombongan.

Abu Yazid pernah juga di tanya :”Kapan orang itu di sebut tawaduk?” Beliau menjawab :”Setelah orang tersebut tidak memandang dirinya sendiri mempunyai kedudukan dan bukan realitas keadaan serta tidak memandang orang lain buruk.” Jadi saat ini apa yang kita jalani, sebenarnya bukan realitas keadaan yang sesungguhnya. Bukankah seseorang itu disukai, dipuji dan disanjung-sanjung orang, bukan karena orang tersebut hebat sesuai dengan kenyataan apa adanya. Akan tetapi yang sebenarnya adalah karena orang lain tidak tahu pada kekurangannya. Allah masih berkenan untuk menutup kekurangan hambanya yang dikasihi. Andai Allah SWT berkenan untuk membukanya! Wallahu a’lam. Maka yang indah dan yang dikagumi oleh orang lain itu bukan realitas kita manusia, akan tetapi hal itu adalah indahnya sitrah atau penutup yang diberikan oleh Allah kepada kita. Oleh karena itu banyak-banyaklah berdo’a :’Rabbana la tahtikissitra ‘anna wa ‘afina wa’fu ‘anna.’ Ya-Tuhan kami, jangan kau rusak penutup (atas kekurangan) kami, dan ampunilah segala dosa-dosa kami.

Menurut Ibnu Atha’ :”Tawaduk adalah orang yang menerima kebenaran dari orang lain.”Tidak mudah untuk bisa menerima dan mengakui kebenaran yang lahir dari orang lain. Menerima kebenaran dari orang yang kita anggap sederajat dengan kita saja sudah sulit. Apalagi bila kebenaran itu datang dari orang yang di anggap bawahan kita, seperti adik, anak, murid atau anak buah kita ataupun masyarakat awam yang notabene-nya mereka adalah lebih bodoh dari kita. Penyebabnya adalah tidak ada lain kecuali adanya sifat sombong. Selama virus sombong itu masih bercokol dihati kita, mustahil kita dapat mengakui datangnya kebenaran dari orang lain.

Menurut Ibnu Abbas :”Sebagian dari tanda-tanda ke-tawaduk-an adalah orang tersebut sudi meminum sisa minuman saudaranya.”
Sering kali kita merasa jijik minum sisa orang lain, mengapa jijik? padahal Rasulullah Saw, tidak merasa jijik dengan hal itu. Terkait dengan pendapat Ibnu Abbas ini penulis ingin sekali menulis kisah menarik bagaimana Rasulullah bersama para sahabat menikmati hadiah, walaupun agak panjang akan penulis sampaikan secara lengkap, dengan harapan semoga kita dapat mengambil manfaat dan barokah dari kisah indah ini. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah :” Suatu saat adakalanya saya terpaksa menekankan perutku ke tanah karena lapar. Kata beliau. Dan adakalanya saya mengikat batu diperutku karena lapar. Dan pada suatu hari saya duduk dijalanan. Mendadak Nabi Saw. Berjalan dan tersenyum ketika melihat saya, tampaknya beliau sangat memahami penderitaanku, maka beliau berkata:”Ya Aba Hirr!” Aku menjawab:”Labbaik ya-Rasulallah.” Lalu Nabi Saw. Mengajakku untuk mengikuti, maka aku ikuti Rasul Saw. Hingga sampai dirumahnya, kemudian mengijinkan saya masuk, dan disitu Rasulullah menemukan segelas susu. Beliau bertanya kepada isterinya :”Dari manakah susu ini?” Jawab isterinya:”Fulan telah mengirimkan hadiah untukmu.”Rasulullah lalu memanggil saya:”ya-Aba Hirr! Pergilah panggil ahlus Shuffah!” Jika Rasulullah mendapat sedekah, maka pada biasanya dikirim langsung kepada mereka dan Rasulullah tidak mengambil sedikitpun dari padanya, tetapi jika mendapat hadiyah dimakan sebagian dari padanya, dan sebagian diberikan ahlusshuffah.

Mengenai segelas susu itu aku merasakan berhak mendapatkan seteguk terlebih dahulu, untuk mengembalikan kekuatan yang telah hilang daripadaku. Dan nanti kalau ahlusshuffah datang tentu saya yang akan disuruh melayani mereka. Nanti kalau saya tidak mendapat minum duluan, lalu aku dapat minum apa? Demikian bisik suara hatiku. Namun perintah Allah dan Rasul-Nya tidak boleh dibantah. Maka saya pergi dengan segera memanggil ahlusshuffah. Dan ketika mereka telah datang kerumah Nabi, masing-masing telah mengambil tempat duduknya. Nabi memanggil saya:”Hai Abu Hirr!” Jawabku:”Labbaik ya-Rasulullah.”. Bersabda Nabi:”Terima ini dan bagi-bagikan kepada mereka.” Maka saya terima gelas itu dan saya berikan pada orang pertama untuk diminum sampai puas, kemudian dikembalikan kepadaku dan saya berikan kepada orang kedua, ketiga, keempat dan semuanya minum sehingga puas baru mengembalikan gelas itu kepadaku, sehingga berakhir kembali kepada Rasulullah Saw. Setelah selesai semua yang hadir itu, maka Rasul menerima kembali gelas itu sambil tersenyum kepadaku, dan beliau berkata:”Ya-Aba Hirr, tinggal saya dan engkau yang belum minum.”Aku menjawab:”benar Ya Rasulullah.” Kemudian Nabi bersabda kembali :”Duduklah dan minumlah sekarang.” Maka saya duduk sambil minum. Dan Nabi bersabda:”minumlah!” Maka saya terus minum. Dan Nabi selalu mengulangi:”Minumlah!” Hingga saya berkata:”Demi Allah yang mengutus engkau dengan hak, sudah tidak ada lagi tempat diperutku. Kemudian Rasulullah bersabda:”berikan kepada aku gelas itu!” Kemudian Rasulullah memuji dan bersyukur kepada Allah dan membaca bismillah. Rasul saw meminum sisa-sisa susu itu. Demikianlah ketawaduk’an junjungan kita nabiyyul mukhtar Muhammad Saw.

Hamdun al-Qash-shar berkata :”Yang di maksud tawaduk adalah jangan menganggap orang lain itu butuh pada diri kita, baik urusan dunia maupun urusan akhirat.”

Secara umum orang yang memiliki sifat tawaduk akan berperilaku seperti ini: Jikalau ia melihat orang bodoh, dia akan berkata :”Orang itu bermaksiat kepada Allah karena kebodohannya. Sementara saya berbuat maksiat kepada Allah dengan ilmu pengetahuan yang ada pada saya, maka dia orang yang bodoh itu lebih diampuni dosanya dari pada saya.”

Jika dia melihat kepada orang yang berilmu (alim) dia akan berkata :”Orang alim ini telah mengetahui apa yang tidak aku ketahui, maka bagaimana aku bisa seperti dia? Sedangkan Allah sendiri berfirman:’Apakah sama orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu?’ Disini Allah ingin menegaskan bahwa memang tidak akan pernah sama antara saya yang tidak tahu dengan dia yang ‘alim.”

Jika orang tawaduk melihat orang yang lebih tua umurnya, dia berkata :”Orang ini telah taat kepada Allah sebelum ada aku, Jadi amal baiknya sudah lebih banyak dari aku, maka bagaimana aku bisa seperti dia?”

Dan jika ia melihat kepada anak yang lebih kecil, dia berkata :”Sesungguhnya aku telah melakukan maksiat kepada Allah sebelum dia, sedangkan anak kecil ini baru berumur beberapa tahun saja, jadi dosanya pasti masih belum seberapa dibanding dengan dosaku, maka bagaimana mungkin aku bisa seperti dia?”

Apabila orang yang memiliki sifat tawaduk melihat kepada orang yang berbuat bid’ah atau melihat orang yang masih kafir sekalipun, dia akan berkata :”Saya tidak tahu, semoga dia berkesudahan baik, dengan memeluk agama Islam. Dan saya berkesudahan dengan apa yang ada pada masa sekarang. Karena tidak seorangpun yang dapat menjamin kekekalan suatu petunjuk, kecuali Allah.”

Jadi dengan kebeningan hatinya, orang yang tawaduk tidak akan ada kamus buruk sangka kepada siapapun dalam hidup ini, tidak merasa apa yang dia tekuni saat ini adalah yang terbaik, tidak menganggap apa yang dia lakukan adalah pekerjaan orang-orang yang memiliki kelas tinggi dihadapan Allah atau apa yang dia lakukan adalah pekerjaan orang-orang dewasa, sementara kegiatan orang lain dianggap selalu kekanak-kanakan. Apabila kita merasa seperti ini, maka ketahuilah bahwa kita sedang ada dalam kendali syetan, kita tidak sadar bahwa pada saat yang bersamaan sebenarnya kita berada dipuncak kesombongan, dan sombong itu adalah pekerjaan syetan la’natullah. Bukankah syetan diusir dari sorga oleh Allah, gara-gara kepongahan dan kesombongannya, dengan percaya diri dia berkata:”Aku diciptakan dari api, dan Adam diciptakan dari lumpur, jadi aku masih lebih baik dari Adam.” Lalu Syetan menolak kebenaran (perintah Allah). Sikap seperti ini akan senantiasa dihembuskan oleh syetan kepada bangsa manusia sehingga mereka merasa paling bersih, paling suci, paling benar, paling dewasa dan lain-lain. Semoga kita senantiasa dilindungi oleh Allah dari godaan-godaan syetan yang terkutuk.

Karakter orang tawaduk selalu mencari dan condong memandang pada celah positif dari apa saja yang ada di depannya dia selalu inklusif dengan segala kebenaran, oleh karenanya orang yang tawaduk akan selalu mengalami peningkatan, baik ibadah maupun ilmunya. Dari itulah Allah akan senantiasa mengangkat derajatnya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Didunia dia akan hidup terhormat dan disegani, karena dari sikap dan pembicaraannya, dia akan senantiasa memancarkan dan melahirkan cahaya-cahaya hikmah, yang akan selalu diperbincangkan dan diteladani oleh orang lain. Diakhirat, dia sebagai kekasih Allah akan mendapatkan tempat yang begitu indah dan menyenangkan yaitu Jannatunna’im, sorga yang penuh dengan kenikmatan-kenikmatan yang tiada tara. []***




BAHASAN III
FIGUR-FIGUR TAWADUK


Al-Aswad bin Yazid berkata: ”Saya bertanya kepada Aisyah r-a tentang apa yang dikerjakan Nabi SAW, beliau menjawab :”Rasul SAW senantiasa membantu dan berhidmat pada keluarganya, ketika masuk waktu sholat baru beliau keluar rumah.”

Abi Rifa’ah Tamim bin Usaid bercerita :”Ketika saya sampai pada Rasulullah SAW, beliau sedang berkhutbah. Maka saya berkata :”Ya, Rasul seorang gharib (asing) datang ingin bertanya tentang agama, karena ia belum mengerti agamanya.” Maka turun Rasulullah SAW dan menghentikan khutbahnya, kemudian duduk didepanku, mengajarkan kepadaku dari apa yang di ajarkan Allah kepadanya. Kemudian setelah selesai meneruskan khutbahnya hingga selesai. (HR. Muslim).

Suatu ketika amirul mu’minin Ali bin Abi Thalib dengan pelayannya Qanbar. Sedang berada disebuah pasar. Saat itu beliau membeli dua potong baju dimana yang lebih bagus diberikan kepada Qanbar. Maka Qanbar berkata:”Mengapa tuan memberikan kepada saya baju yang lebih bagus, sedangkan tuan adalah majikan saya dan khalifah kaum muslimin?” Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib menjawab:”Aku malu kepada Allah apabila aku mengutamakan diriku daripada engkau!”

Ali bin Abi Thalib adalah seorang hamba Allah, dan Qanbarpun seorang hamba Allah juga. Apabila saat itu Ali bin Abi Thalib memiliki kedudukan sebagai amirul mukminin, maka Allah-lah yang memberikan kedudukan itu. Adapun kedudukan sebagai makhluk dan hamba Allah keduanya adalah sama. Manusia semulia Ali bin Abi Thalib masih merasa sejajar dengan pelayannya. Ini adalah salah satu ke-tawaduk-an yang luar biasa dari seorang pemimpin besar yang berjiwa besar.

Abu Hurairah seorang perantau dari Daus yang bekerja sebagai pelayan dari rumah kerumah yang lain, beliau bercerita :”Ada seorang perempuan hitam yang pekerjaannya menyapu masjid. Pada suatu hari, Nabi SAW menanyakan ihwalnya. Para sahabat mengatakan, bahwa dia sudah meninggal dunia. Seketika itu Nabi menegur mereka mengapa tidak di beri tahu. Sahabat-sahabat mengatakan, bahwa perempuan itu hanyalah orang kecil saja. Kata Nabi SAW :”Tunjukkan aku kuburannya!” Di atas kuburan perempuan itu Rasulullah SAW melakukan sholat untuknya. Kemudian Rasul bersabda:”Seluruh isi kubur ini adalah gelap gulita, sekarang Allah sudah memberikan cahaya terang benderang kepada seluruh ahli kubur ini, karena shalat saya.” (Riyadlus-Shalihin, Hal:140). Seorang pemimpin manusia didunia dan akhirat tidak merasa gengsi melayat dan melakukan sholat diatas kubur perempuan tua renta dan berkulit hitam. Yang mana pada masa hidupnya orang-orang merasa tidak perlu memberi penghormatan kepadanya. Hanyalah dengan ketawaduk-an yang tinggi seseorang dapat melakukan hal seperti ini.

Sa’id bin Mu’adz al-Anshori juga berkisah. Waktu itu Nabi SAW baru pulang dari perang Tabuk. Beliau melihat tangan Sa’ad yang hitam dan melepuh. “Kenapa tanganmu?” Tanya Rasulullah SAW. “Karena di akibatkan oleh palu dan sekop besi yang saya pergunakan untuk mencari nafkah bagi keluarga yang menjadi tanggunganku.”Rasulullah SAW mengambil tangan itu dan menciumnya. Seraya berkata :”Inilah tangan yang tidak akan pernah di sentuh oleh api neraka.” (Dikutib dari buku Islam Aktual, Jalaluddin Rahmat hal:207 ).

Zaid bin tsabit mengendari hewan tunggangan, tiba-tiba Ibnu Abbas datang mendekatinya untuk memperoleh pengajaran, seraya memegang kendali hewan tunggangannya, dengan sikap menunduk. Zaid merasa tidak enak, kemudian melarangnya :”Lepaskan, wahai putera paman Rasulullah.”Namun Ibnu Abbas tidak mau mempedulikannya. Dia tetap memegangnya seraya mengatakan :”Seperti inilah kami di perintahkan untuk sopan atau tawaduk kepada ulama kami.”Rupanya Zaid cukup cerdik. Dia segera merebut tangan Ibnu Abbas, menarik kemudian menciumnya, sambil mengatakan :”Seperti inilah kami di perintahkan berbuat baik kepada keluarga Rasulullah SAW.”

Urwah bin Zubair mengatakan :”Saya pernah melihat kholifah Umar bin Khattab, sedang memanggul air, di atas pundaknya terdapat sebuah girbah (tempat air dari kulit). Saya mengatakan :”Wahai Amirul mukminin, tidak seharusnya tuan berbuat seperti ini.” Beliau menjawab :”Ketika para utusan datang kepadaku, mereka mendengarkan dan tunduk kepadaku, sehingga kesombongan terkadang muncul dalam diriku. Oleh karena itu, saya harus menghilangkannya, kemudian dia melanjutkan pekerjaannya dan membawa girbah tersebut keruang dapur seorang wanita dari golongan Anshor dan menuangkannya kedalam wadah sampai penuh.

Abu Dzar al-Ghifari dan Bilal al-Habsyi pernah saling berbantah-bantahan. Abu Dzar mencela Bilal dengan kata-kata “hitam“, Bilal mengadu kepada Nabi SAW. Kemudian beliau memanggil Abu Dzar dan menegurnya :”Wahai Abu Dzar, di dalam hatimu masih terdapat sifat sombong seperti kesombongan orang-orang Jahiliyah.” Setelah itu Abu Dzar menimpakan beban pada dirinya sendiri. Dia bersumpah untuk tidak mengangkat kepalanya sebelum pipinya di injak oleh Bilal dengan telapak kakinya. Abu Dzar tidak mau mengangkat kepalanya sehingga Bilal melaksanakan apa yang di inginkan.

Rasulullah SAW, sungguhpun beliau memiliki kapasitas sebagai pemimpin besar, dalam kesehariannya senantiasa bersikap tawaduk kepada orang lain, bahkan kepada pengikutnya sekalipun. Beliau enggan meminta tolong atau menyuruh orang lain, selama baliau mampu mengerjakannya sendiri. Abu Sa’id al-Khudri, meriwayatkan suatu hadits bahwa Rasulullah SAW, pernah memberikan makanan pada unta, menyapu rumah, menjahit sandal, menambal pakaian, menggembala kambing, makan bersama pelayan dan menggoreng ikan. Rasulullah SAW tidak malu membawa belanjaannya dari pasar menuju ketempat keluarganya. Beliau pernah juga berjabat tangan dengan orang kaya dan orang fakir, mengawali salam meski kepada anak-anak, tidak meremehkan pemberian (hadiah) apabila beliau di undang, meskipun hanya beberapa potong roti. Beliau suka memberi makanan, berbudi pekerti baik, berkarakter baik, pandai bergaul, muka berseri-seri, tersenyum tanpa tertawa, berduka cita tanpa masam, rendah hati tanpa merasa hina, dermawan tanpa berlebih-lebihan, lemah lembut dan kasihan terhadap orang Islam. Tidak pernah mengulurkan tangan terhadap makanan meski sangat ingin.

Ini adalah contoh-contoh ketawadukan yang luar biasa indahnya yang telah di lakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat dan salafunash-sholih yang patut kita teladani dalam menghadapi masa-masa sekarang yang kata orang di sebut sebagai zaman yang sangat maju ini. Dan sikap-sikap tersebut tak akan lekang oleh terik sinar matahari dan tak akan lapuk oleh curahan hujan, hingga akhir hayat dunia. insyaAllahu ta’ala.[]***

BAHASAN IV
MELATIH DIRI UNTUK TAWADUK


Lalu bagaimana supaya diri ini menjadi pribadi yang tawaduk? Apa saja upaya-upaya melatih (riyadlatun-nafs) untuk membentuk sifat tawaduk hingga menjadi karakter yang menancap kuat dalam jiwa? Pendidikan ini sebetulnya adalah upaya pembentukan diri melalui proses pembiasaan, sebenarnya apa yang ada pada diri kita sekarang, disamping dibentuk oleh pengetahuan yang sudah kita dapatkan, juga dibentuk oleh berbagai proses pembiasaan yang telah dilakukan oleh orang tua, lembaga pendidikan dan atau diri kita sendiri untuk membentuk kepribadian yang positif dalam diri, salah satu diantaranya adalah pembentukan kepribadian yang tawaduk ini. Sedikitnya ada lima langkah yang harus kita lakukan dalam hal ini.

Pertama, Melatih diri untuk bisa menerima suatu kebenaran
.
Memang, menerima, mengikuti, mengakui bahkan mensyukuri suatu kebenaran yang datangnya dari orang lain itu tidak mudah. Hanya orang-orang yang berhati bersih saja yang dapat melakukannya. Apabila muncul suatu kebenaran dari mulut seseorang, lalu hati ini merasa berat menerimanya atau enggan untuk menghargainya, maka berarti dalam jiwa kita masih bersarang sifat sombong. Cepat obati dan bersihkan dengan cara memperingatkan diri akan bahaya-bahaya kesombongan. Adapun sifat sombong adalah sangat tidak pantas disandang oleh manusia. hanya Allah yang layak menggunakannya. Ibarat pakaian, itu pakaian Tuhan. Tak pantas disandang manusia. Kita harus menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna, manusia selalu memiliki keterbatasan-keterbatasan. Kitapun dipenuhi dengan kekurangan-kekurangan itu.

Apabila hati tetap berat mengakui satu kebenaran, maka harus dipaksakan untuk menerimanya dengan cara, memaksa lidah supaya mau menghargai dan menyanjung bahkan mengakui serta berterima kasih kepada orang yang telah membawa kebenaran itu. Mencoba membuka diri untuk mengakui kelemahan yang ada, sehingga pada akhirnya dapat mengambil faedah dari padanya. Seperti mengucapkan: ”Alangkah bagus pemikiranmu, ide seperti ini tak pernah terlintas dalam fikiranku. Semoga semuanya dapat berjalan dengan baik, terima kasih dan semoga Allah membalasmu dengan kabaikan.”

Kedua, ketika berkumpul, melatih diri untuk mau mendahulukan orang lain. Duduk di depan-di belakang dan di bawah sama saja.

Apabila hal ini terasa berat dihati, seperti bila duduk didepan merasa bangga atau duduk dibelakang merasa hina, maka berarti masih ada benih-benih kesombongan yang akan tumbuh dengan subur dalam hati. Oleh karena itu latihlah diri kita sendiri untuk biasa melakukannya, dimanapun dan kapanpun, sehingga depan belakang, atas bawah tak ada pengaruh dalam perasaan. Dengan cara mengingatkan diri kita, bahwa yang paling mulya diantara manusia dihadapan Allah, adalah yang paling tinggi sifat takwanya, bukan orang yang selalu mendapat tempat duduk didepan. Dan hal itu Allah yang akan menentukan dikemudian hari. Boleh jadi orang yang di anggap jelata selalu disiapkan tempat duduk dibelakang, bahkan hadirnya tidak dibanggakan orang, tidak adanya tidak di cari orang, justeru orang itu yang tinggi derajat disisi Allah. Tiada yang tahu tentang hal ini kecuali Allah sendiri Yang Maha Tahu.

Seorang yang tawaduk tidak terlalu bangga ketika duduk didekat orang-orang besar, dan juga tidak merasa gengsi dan hina ketika duduk berdampingan dengan orang-orang kecil bahkan orang cacat sekalipun. Ada satu riwayat seorang kaya raya namun buta mata hatinya dan selalu bersikap sombong, orang kaya ini sowan dan duduk dimajlis Rasulullah SAW. Lalu datanglah seseorang yang sangat miskin, dalam keadaan seperti itu orang tersebut masih ditambah penderitaannya yaitu tidak bisa melihat alias buta, dia duduk disamping orang kaya yang buta mata hatinya itu. Kemudian orang kaya ini menampakkan rasa risih dan tidak senang karena berdekatan dengan orang miskin yang buta matanya. Akhirnya si kaya bergeser duduknya menjauhkan diri dari tempat duduk orang miskin dan buta itu. Melihat hal tersebut Rasulullah SAW marah kepada orang kaya yang buta mata hati itu,” Mengapa engkau bersikap seperti itu? Apakah kamu khawatir kemiskinan dia akan menular kepadamu? Atau engkau takut kekayaanmu akan menular kepadanya?” Orang kaya itu menjawab:”Saya siap memberikan setengah dari kekayaan saya kepada orang miskin ini, asalkan ada ridla darimu kepada saya ya-Rasulullah.” Rasul menoleh kepada orang miskin yang buta mata itu, dan berkata:”Apakah engkau ingin setengah dari kekayaan laki-laki ini?”

Orang miskin yang buta itu menjawab:”Tidak, saya tidak mau!” Rasulullah SAW bertanya lagi:”Mengapa?” Si miskin menjawab:”Saya takut menjadi sombong dengan kekeyaan yang saya miliki, sehingga menjadi buta mata hati ini. Apa jadinya nanti, mata dlahir saya sudah buta, masih akan ditambah lagi dengan buta mata hati seperti orang kaya itu.”

Demikian sahabat Nabi SAW menjaga dan memelihara sifat tawaduknya. Karena sering kali kekeyaan membuat sombong pemiliknya, dan kesombongan membuat buta mata hati manusia. Berantas penyakit sombong, segera latihlah diri kita untuk bersifat tawaduk.

Ketiga, menghadiri undangan orang-orang yang di anggap miskin dan jelata, atau undangan-undangan dalam acara-acara kecil di kampung.

Bila orang lain telah berkenan mengundang kita, minimal orang yang telah mengundang itu hatinya telah memiliki perhatian dan mengakui akan keberadaan kita. Selanjutnya dia memberi penghormatan kepada kita dengan cara memberi suatu undangan. Demikian sebaliknya tentunya kita harus memberi penghormatan kepada orang yang telah menghormat tersebut. Karena dalam Islam, bila ada orang yang berbuat baik kepada kita, wajib kita membalasnya dengan kebaikan, sedikitnya kebaikan yang setimpal dengan kebaikan orang lain, kalau perlu kita harus membalasnya dengan kebaikan yang lebih dari kebaikan yang kita terima. Bahkan dalam agama ada ajaran ; ahsin ila man asa’a ilaika, berbuat baiklah kamu terhadap orang yang telah berbuat jelek padamu. Yang dimaksud berbuat baik disini tentunya adalah menghadiri undangannya tepat waktu sesuai dengan harapan.

Andai kita adalah seorang tokoh, mari tabur rata kasih sayang ini pada ummat yang kaya dan yang miskin. Layani mereka semua dengan sebaik-baik pelayanan atas dasar kasih sayang, tanpa perbedaan status sosial. Bila yang mengundang orang kaya dan orang miskin dalam waktu yang bersamaan, maka buatlah skala perioritas; mana yang lebih dahulu di antara yang mengundang. Jika ternyata memang tidak sempat. Katakan tidak bisa, karena terlalu banyak undangan yang harus di hadiri misalnya, dan minta maaflah pada si pengundang. Jangan sampai beberapa undangan dalam sehari diterima semua. Lalu dipilih kira-kira mana acara yang dianggap besar, maka acara itulah yang dihadiri. Kebijakan seperti ini kurang tepat, karena barakah Allah tidak tertentu pada besar-kecilnya acara atau sepi dan ramainya tawa serta tepuk tangan orang-orang yang hadir. Akan tetapi sukses dan tidaknya sebuah acara hanya bisa diukur dengan sejauh mana acara tersebut memberikan atsar (pengaruh) positif terhadap perilaku masyarakat sehingga terjadi perubahan dan peningkatan. Buat apa acara besar karena dihadiri ribuan orang, kalau tidak ada barakah dan atsar didalamnya. Acara besar seringkali membuat hati kita menjadi sombong, karena merasa sangat terhormat diundang pada acara sebesar itu. Inilah penyakit yang sangat berbahaya. Sebaliknya acara kecil lebih menarik hati kita untuk tulus ikhlas dan menumbuhkan rasa tawaduk yang mendalam dihati. Dalam keadaan seperti itu insya Allah dibarakahi dan bermanfaat acaranya.

Merasa gengsi karena hanya diundang dalam acara kecil atau diundang orang tak berpunya adalah tanda adanya kesombongan dalam hati. Rasulullah SAW manusia paripurna, tinggi derajat didunia, tinggi derajat dihadapan Allah bersabda :”Andaikan saya di undang untuk makan kaki (kokot hewan) atau paha binatang, niscaya aku sambut dan mendatangi undangan tersebut.” (HR. Bukhari).

Keempat, membawa sendiri berbagai keperluan, baik keperluan keluarga, kerabat tetangga ataupun titipan sahabat-sahabat.

Tidak enggan menjinjing barang-barangnya dari warung atau pasar, hingga sampai dirumah, merupakan pancaran dari cahaya sifat tawaduk didalam hati.

Rasanya tidak ada yang harus dirasakan ‘malu’, karena semua ini adalah ibadah, memenuhi kebutuhan keluarga termasuk kewajiban kita. Apabila kita melakukannya dengan ikhlas hati, tentunya kita akan mendapat ridla dan pahala dari Allah.

Rasa malu membawa barang-barang keperluan sendiri atau titipan orang lain adalah bagian dari kesombongan. Abdullah bin Salam seorang ulama besar yang kaya raya. Beliau memikul sendiri kayu kayu bakarnya dari pasar. Ada seseorang menyapa beliau ketika dipasar :”Hai, Abdullah bin Salam, bukankah ada pembantu-pembantu dan anak-anakmu untuk membawanya?” Abdullah bin Salam menjawab :”Benar! akan tetapi aku mau mencoba diriku sendiri, berat-tidak perasaanku bila berperilaku yang demikian itu.”
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :

من حمل الفاكهة اوالشئ فقد برئ من الكبر
“Barang siapa membawa buah-buahan atau membawa sesuatu, maka ia terlepas dari sifat sombong.” (HR. al-Baihaqi).

Orang tawaduk tidak senang minta bantuan pada orang lain, segala pekerjaan dilakukannya sendiri dengan senang hati, hal itu dilakukan selama dia masih mampu melakukannya.

Pada suatu malam Umar bin Abdul Aziz menulis surat yang di sampingnya ada seorang tamu, sementara lampu hampir mati. Tamu itu bertanya :”Apakah disini tidak ada orang yang dapat memperbaiki lampu ?”
“Tidak, sebagian dari kemuliaan tidak untuk di jadikan tamu sebagai pelayan.” Jawab Umar bin Abdul Aziz.
“Apakah tidak ada budak ?” Tanya tamu lagi.
“Tidak ada. Sekarang dia sedang tidur.”
Setelah itu Umar mengambil wadah minyak dan menuangkan ke dalam lampu. Tamu tersebut hanya bisa melihatnya dengan heran. Bagaimana mungkin seorang raja melakukan perbuatan yang sepatutnya dilakukan oleh seorang pelayan.
“Mengapa hal ini tuan kerjakan sendiri, wahai amirul-mu’minin?” Tanyanya lebih lanjut.
Umar bin Abdul Aziz berkata :”Jika saya pergi, saya adalah Umar. Dan jika saya kembali, saya juga adalah Umar.”

Kelima, biasakan berpenampilan bersahaja dan sederhana baik dalam masalah kendaraan, pakaian dan pembicaraan.

Karena keengganan seseorang untuk menggunakan kendaraan murah, pakaian murah dan lain-lain, hal ini menunjukkan akan adanya kesombongan dalam diri seseorang. Oleh karena itu perlu ditekankan pada diri untuk bersikap wajar dan tidak berlebih-lebihan.

Syeikh Abu Hasan as-Syadziliy, seorang tokoh tasawwuf yang kaya raya, beliau adalah wali kuthub, pernah bercerita: Suatu saat aku keluar pergi ke sebuah kebun, bertemu dan bersama sahabat-sahabatku dari kota Tunis. Setelah aku kembali pulang bersama sahabat-sahabat, kami bersama menunggang himar. Ketika hampir masuk ke kota kami, sahabat-sahabatku pada turun dari tunggangan dan mereka berkata:”Sayyid Abu Hasan kita turun sampai disini dari himar ini.”Segera aku bertanya:”Kenapa?” Lalu mereka berkata:”Ini adalah kota besar, kita malu bila hanya menunggang himar seperti ini.”Hampir saja kakiku tergoda mengikuti kemauan mereka, tiba-tiba ada suara memanggilku:”Ya-Aba Hasan! Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa pada sebuah perjalanan yang dibarengi dengan sifat tawaduk, akan tetapi Allah akan menyiksa pada sebuah perjalanan yang disitu disertai dengan kesombongan.” Lalu aku mengurungkan niatku untuk turun dari kendaraan himarku. (al-Mafakhirul ‘Aliyah hal:77, lis-syeikh Ahmad bin Muhammad bin ‘Iyad as-Syadziliy).

Bukannya tidak boleh berkendaraan mahal, berpakaian bagus dan indah, penekanan diri disini hanya untuk melatih dan membiasakan diri menuju sikap tawaduk yang dicitakan, sehingga kendaraan mewah dan pakaian mahal tidak membuat riya’ dan sombong, tapi semata-mata untuk mensyukuri nikmat Allah yang diberikan, serta agar sedap dipandang orang sekitar dan ini termasuk memberi kebahagiaan dihati sesama muslim (idkhalussurur). Apabila tujuan kita seperti ini, insya Allahuta’ala berpahala.

Begitu sebaliknya, tidak merasa hina dina hanya karena berpakaian yang murahan, karena sesungguhnya tujuan berpakaian adalah menutup aurat dan suci, layak digunakan untuk beribadah.

Bagi orang yang tawaduk; tidak akan riya’ dengan pakaian bagusnya dan tidak akan merasa hina karena pakaian murahnya. Rasulullah SAW bersabda :”Sesungguhnya saya ini adalah hamba yang makan ditanah, memakai pakaian bulu, mengikat unta, menjilat jari-jari tanganku (sesudah makan) dan memenuhi undangan hamba sahaya. Barang siapa yang benci dengan sunnahku, maka ia tidak termasuk dalam golonganku.” []***

KHATIMAH
PENYEBAB HILANGNYA TAWADUK



Ada tiga hal yang membuat manusia hilang ke-tawaduk-annya, yaitu kekayaan, kedudukan dan ilmu pengetahuan. Seringkali orang-orang menjadi sombong karena merasa dirinya lebih berada dari orang lain. Hal ini terjadi karena kebodohan orang tersebut terhadap hakekat harta yang digenggamnya. Orang bodoh yang berharta banyak sekali menyebabkan seseorang menjadi bakhil, egois dan sombong.

Kedudukan juga bisa menyebabkan hilangnya sifat tawaduk seseorang. Yang dimaksud dengan kedudukan disini adalah kemasyhuran, jabatan dalam pemerintahan dan kedudukan sosial, seperti menjadi orang terpandang dimasyarakat atau sebagai putera orang terpandang. Akibat bangga dengan keturunan ini juga tidak sedikit membuat manusia lupa dan merasa lebih tinggi dari orang lain. Bahkan kadang-kadang gara-gara keturunan, banyak diantara mereka yang menolak untuk menikah dengan keluarga tertentu, karena memandang dirinya lebih mulia dari keluarga tersebut. Padahal sebenarnya orang yang menganggap dirinya berkedudukan itu telah teripu dengan perasaan sendiri. Dari manakah dia merasa lebih mulia? Padahal kadang-kadang yang keturunan orang biasa itu ibadahnya melebihi dia, ilmunya melebihi dia dan akhlaknya jauh diatas dia. Dari sisi manakah dia merasa mulia? Tidak ada lain kecuali dari perasaan sendiri yang telah jelas-jelas menipunya. Didalam al-Qur’an Allah menegaskan, siapa yang paling mulia diantara kita dalam pandangan Allah.

ا ن اكرمكم عند الله اتقا كم
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. (al-Hujurat:13)

Rasulullah Saw telah menumpahkan kemarahannya kepada orang-orang yang menyombongkan diri lantaran ayah dan nenek moyangnya, dengan ungkapan yang cukup tajam dan menggetarkan hati. Beliau mengatakan :
“Hendaklah orang-orang yang menyombongkan ayah-ayahnya yang sudah mati itu mau berhenti. Mereka yang demikian itu hanyalah bara neraka. Atau mereka itu lebih rendah dihadapan Allah dari pada kumbang yang mengguling-gulingkan tahi dengan hidungnya, Allah telah menghapus kesombongan jahiliyah dan kecongkakannya lantaran ayah. Seseorang ada yang beriman dan bertakwa, dan ada juga yang durhaka dan celaka, manusia seluruhnya anak cucu Adam dibuat dari tanah.” (HR. Abu Daud, Yirmidzi dan Baihaqi dengan sanad hasan).

Hadits ini merupakan satu peringatan kepada orang-orang yang menganggap besar lantaran nenek moyangnya dulu adalah keturunan raja-raja dan kaisar. Mereka yang demikian itu hanyalah bara neraka jahannam, seperti penegasan Rasulullah Saw di atas.

Kedudukan yang didapat sebelum waktunya, lebih berbahaya lagi terhadap ke-tawaduk-an seseorang. Ibarat buah, masak sebelum waktunya adalah penyebab utama kemalasan. Dia akan merasa; untuk apa sekolah, begini saja orang sudah menghormati. Orangnya biasanya cenderung sulit untuk mengikuti aturan-aturan sekolah, karena guru-gurunya pun enggan memberi sanksi. Sehingga sekolah asal-asalan, suka-suka saja apa mau dia. Kedudukan sebelum waktunya bisa juga menyebabkan gengsi disekolah, ketika diluar sekolah dihormati orang. Tetapi didalam kelas ketinggalan karena sekolahnya asal-asalan. Oleh karena itu Umar ibn Khattab mengatakan:”tafaqqahu qabla an-tusayyadu!” Belajarlah dahulu sebelum kita dituankan. Maksudnya kita harus belajar sebagaimana biasa sebelum mendapat kedudukan dimasyarakat.

Yang terakhir yang menyebabkan hilangnya sifat tawaduk adalah ilmu. Seseorang yang telah berhasil mendapatkan ilmu pengetahuan cenderung merasa bahwa ilmu-ilmu itu merupakan sesuatu yang agung dan telah menetap dalam dirinya, sehingga kadang tergelincir memandang orang lain lebih rendah.

Jika hal ini terjadi pada penuntut ilmu agama, maka keadaannya lebih berbahaya dari penuntut ilmu lainnya. Karena biasanya penuntut ilmu non agama pengaruhnya hanya sebatas pada urusan materi atau kekayaan. Adapun orang yang menguasai ilmu agama, dia akan mendapatkan materi kekayaan, plus kedudukan ditengah-tengah masyarakat. Sedangkan kedudukan dimasyarakat identik dengan berkuasa pada hati-hati manusia. Kalau hati orang lain telah dikuasai apa yang dia katakan pasti di-iya-kan orang. Dan demikianlah seterusnya, akan banyak kesempatan yang terbuka lebar sebagai hak istimewa baginya. Bila tidak cepat disadari, maka orang tersebut akan senantiasa asyik dengan kesombongan yang tidak dirasa. Kalau penyakit sudah tidak dirasa sakit, mana mungkin hal itu akan sembuh.

Kesombongan yang terjadi pada orang berilmu, sesungguhnya yang terjadi adalah, pengetahuan yang dia miliki tidak menambah cahaya iman (nurul musyahadah) dalam hatinya. Kalau begitu lalu apa bedanya antara yang berilmu dengan orang bodoh. Bahkan orang yang awam dengan keawamannya, dia merasa tidak tahu merasa perlu tuntunan lalu dia tawaduk pada orang lain, itu lebih baik dari orang yang berilmu, yang ilmunya tidak memberi apapun padanya kecuali kesombongan dan ketertipuan.

Akhirnya harapan kita adalah semoga ilmu yang kita kuasai membawa nurul musyahadah dalam hati, lalu ilmu ini menambah keimanan dan ketakwaan, sehingga semakin bertambah ilmu, semakin tawaduklah kita. Amin ya-Robbal alamin ! []***
Wallahu a’lam bi haqiqatil amri




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar